This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Para Pejuang Agama Islam

Para Pejuang Agama Islam
Para Ulama'

Sabtu, 19 Mei 2012

KH. M. Bashori Alwi - Memproduksi Rekaman di Studio Pesantren
Tak salah jika predikat al-Qur’an selalu disematkan masyarakat ke pundak KH. Basori Alwi. Sebab sejak kecil, putra pasangan Kiai Alwi Murtadlo dan Nyai Riwati ini, memang telah karib dengan al-Qur’an. Selepas belajar pada ayahandanya, lelaki kelahiran Malang 15 April 1927 ini, kemudian berguru pada Kiai Muhith – seorang penghafal al-Qur’an dari pesantren Sidogiri Pasuruan. Lalu kepada kakak kandungnya sendiri Kiai Abdus Salam. Dirinya juga pernah belajar kepada Kiai Yasin Thoyyib dan Kiai Dasuqi di Singosari, serta Kiai Abdul Rosyid di Palembang. Selain orang tuanya, kakeknya juga terkenal alim dan sangat gemar membaca al-Qur’an. Tak heran kalau kegemaran dan bakat itu akhirnya menitis pada dirinya. Itulah pasalnya kenapa Basori kecil kerap diminta Kepala MI al-Ma’arif – tempatnya menimba ilmu, untuk mengajar pada saat kelas kosong. Tanggapan siswa lainnya sangat positif. Bahkan kakak kelasnya pun merasa senang dengan cara mengajarnya. Meskipun demikian, dirinya masih saja merasa haus dalam menimba ilmu-ilmu al-Qur’an. Itulah sebabnya, saat tinggal di Solo tahun 1946 s/d 1949, dirinya menyempatkan belajar di Madrasah Aliyah dan mondok di Ponpes Salafiyah Solo. Bahkan ketika sudah berkeluarga dan tinggal di Gresik, masih saja aktif mengaji kepada Kiai Abdul Karim. Adapun mengenai lagu-lagu al-Qur’an, diperolehnya dari Kiai Damanhuri Malang dan Kiai Raden Salimin Yogyakarta. ”Kemudian lagu-lagu al-Qur’an itu, kami perdalam melalui kaset rekaman para qari’ Mesir, khususnya Syaikh Shiddiq Al-Minsyawi,” ungkapnya. Sebelum belajar di Ponpes Salafiyah Solo, KH. Basori Alwi pernah mondok di Ponpes Sidogiri dan Ponpes Legi di Pasuruan antara tahun 1940 – 1943. Selain mengkaji ilmu-ilmu agama dengan kitab-kitab klasik khas pesantren salaf, dirinya juga tekun belajar Bahasa Arab. Di samping itu juga pernah berguru kepada Syaikh Mahmud Al-Ayyubi dari Iraq, Sayyid Abdur Rahman bin Syihab Al-Habsyi – sewaktu di Solo, Syaikh Ismail dari Banda Aceh. Gurunya yang disebut paling akhir ini, adalah pengasuh ponpes al-Ghazali dan redaktur siaran berbahasa Arab di RRI Yogyakarta saat masih menjadi ibukota darurat RI. Di pondok pesantren maupun masyarakat luas, Pengasuh Pesantren Ilmu al-Qur’an (PIQ) Singosari Malang ini, lebih karib dipanggil dengan sebutan ustadz. Barangkali itu terkait dengan keahliannya dalam melagukan irama al-Qur’an. Apalagi dirinya tak pernah absen berkiprah di Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) dan Seleksi Tilawatil Qur’an (STQ). Baik sebagai Dewan Hakim di tingkat provinsi, maupun pada tingkat nasional. Menurut al-Khuli, kata al-Ustadz diartikannya sebagai profesor. Kiranya teramat pas jika gelar profesor tersebut disarungkan kepadanya. Di samping memang dirinya sangat piawai dalam hal pengajaran al-Qur’an, juga sebagai ulama’ ahli al-Qur’an yang cukup berpengaruh di dalam maupun luar negeri. Dalam usia 78 ini, semangat untuk mengajarnya tak pernah surut. Sebab sejak muda, bidang garapan itulah yang selalu ditekuninya. Dirinya telah malang melintang berkhidmat di lembaga-lembaga pendidikan; baik umum maupun agama, formal maupun informal. Karir mengajarnya itu, dimulai sejak tahun 1950 ketika masih tinggal di rumah pamannya – di daerah kawasan Ampel Surabaya. Di samping mengajar di SMI Surabaya dan PGA Negeri Surabaya, juga pernah mengajar di PGAA Negeri Surabaya selama lima tahun. ”Ketika menikah dan hijrah ke Gresik, saya masih mengajar di Surabaya,” kenangnya. Pada tahun 1958, KH. Basori Alwi baru pulang ke Singosari. Di tempat kelahirannya ini, dirinya kembali menjadi guru di PGAA Negeri Malang, serta dosen Bahasa Arab di IAIN Malang. Di samping mengajar di lembaga formal, masih aktif pula mengajar bacaan dan lagu al-Qur’an di berbagai tempat. Dan tepat pada tahun 1978, didirikanlah Pesantren Ilmu al-Qur’an (PIQ) di Singosari. Kiprah dan andil besar KH. Basori Alwi di bidang pendidikan al-Qur’an, sungguh luar biasa. Tepat sekali jika beliau disebut sebagai pakar al-Qur’an. Sebab mantan qari’ tingkat nasional dan internasional ini, memang tiada henti-hentinya mengajar al-Qur’an dan mendakwahkannya. Dirinya ibarat pendekar yang sudah malang melintah di dunia tilawah. Di tahun 1965, bersama Ustadz Abdul Aziz Muslim dan (alm.) Fuad Zain, pernah diundang untuk membaca al-Qur’an di 11 negara Asia Afrika. “Saat berkunjung ke Saudi, kami berkesempatan melakukan ibadah haji. Dan itulah haji saya yang pertama kali,” tutur ayah sebelas anak ini sambil menerawang ke masa silam. Tokoh bidang Tilawatil Qur’an ini, juga tercatat sebagai salah satu pendiri Jam’iyatul Qura’ wal Huffadz – organisasinya para qari’ dan penghafal al-Qur’an. Di samping itu tercatat pula sebagai salah satu pencetus ide MTQ tingkat internasional – pada Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) di tahun 1964. Dirinya juga termasuk penggagas MTQ tingkat nasional. Hingga kini beliau tak pernah absen menjadi juri, baik pada MTQ dan STQ Nasional maupun tingkat provinsi. Pada tahun 1985, KH. Basori Alwi juga pernah dipercaya menjadi juri MTQ tingkat internasional di Brunei Darussalam. Begitu pula ketika diselenggarakan di Mesir pada tahun 1998 dan Jakarta pada tahun 2003. Beliau juga termasuk sosok aktivis organisasi kemasyarakatan yang ulet, serta senantiasa konsen pada dunia dakwah Islamiyah. Buktinya pada tahun 1995 s/d 1958, dirinya pernah memegang kepemimpinn Gerakan Pemuda Ansor. KH Basori Alwi bisa dibilang sebagai sosok ulama yang komplet. Di samping fasih berceramah, juga sangat produktif dalam hal tulis menulis. Selain banyak menulis buku, juga menulis risalah-risalah ringkas dalam bahasa Arab maupun bahasa Indonesia. Dari karya-karya tersebut, tampak sekali bahwa wawasannya teramat luas dan sangat dinamis. Ketika dunia teknologi komunikasi mengalami perkembangan yang kian pesat, beliau pun tak mau ketinggalan. Bersama para santrinya, KH. Basori Alwi melahirkan rekaman melalui kaset, MP3 dan VCD. Di samping berisi panduan pembelajaran al-Qur’an, juga berisi praktek metode pengajaran, teori-teori ilmu tajwid serta yang lainnya. ”Semuanya itu kami produksi sendiri di studio pesantren,” terangnya. PIQ Singosari, memang telah menjadi salah satu kiblat penting dalam hal tilawah. Inilah tempat yang menjadi pusat pembinaan para qari’-qari’ah di Jawa Timur. Apalagi sejak semula KH Basori Alwi memang telah menjadi rujukan, baik untuk Qira’ah bit-Tartil maupun cara membaca al-Qur’an secara baik dan benar. Banyak sekali masyarakat pesantren dan umum, yang memintanya untuk mentashih bacaan al-Qur’an mereka. Sekalipun telah lanjut usia, kakek 23 cucu ini tetap aktif mengajar baik di dalam maupun luar pesantren. Kini masih rutin mengajar masyarakat umum di Kota Probolinggo, Leces, Pacet Mojokerto, Blitar, Sidoarjo dan Malang. Kiranya dirinya tak pernah melupakan pesan Kyai Muhith kepadanya: Li kulli syai’in zakaatun, wa zakaatul ilmi at-ta’ liim – segala sesuatu ada zakatnya, dan zakatnya ilmu itu adalah mengajar. ”Saya merasa bersyukur, para santri yang telah lulus dari sini mau mengembangkannya ke berbagai daerah. Tak sedikit dari mereka yang bahkan telah mendirikan pondok sendiri,” ucapnya bersahaja. Arif


KH. Musta’in Syamsuri, Sang Maestro Sejati dalam Pencerahan Cahaya Qurani

Oleh Syafaat
Tidak banyak orang yang mengenal sosok kyai Mustain Syamsuri. Kyai kelahiran Singosari Malang ini memang sangat rendah hati (tawaddu’) kepada siapapun. Kyai Musta’in dengan sabar mendidik santri-santrinya melalui pesantren yang diberi nama “Darul Quran”. Pesantren tersebut sejak berdirinya puluhan tahun silam, telah mewisuda lebih dari 500 huffadz (penghafal Al-Quran). Meski demikian, beliau lebih suka dipanggil “ustadz” dibanding sebutan “kyai”, lebih suka pakai kopyah hitam daripada sorban putih yang melingkar di kepala. Pesantrennya pun berada di tengah perkampungan yang jauh dari keramaian kota Singosari (sekitar 3 km). Sekilas bangunan pesantren tidak tampak dari depan seakan mushalla biasa. Maklum di sana, tidak ada papan nama atau bentuk bangunan yang bercorak islami. Padahal di dalamnya ada bangunan swadaya dua lantai yang dihuni sekitar 100 santri putra dan putri. Meski demikian kondisinya, siapa tahu ternyata di dalamnya terdapat santri multikultur dan multi etnis. Hampir tiap tahun datang santri dari seluruh pelosok nusantara, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, NTB, Jawa, Madura. Entah mereka tahu dari mana, pesantren yang demikian tersembunyipun masih didatangi para santri. Beberapa santri ada yang menuturkan keinginannya untuk nyantri setelah orangtuanya bermimpi bertemu dengan beliau (Kyai Mustain), termasuk Gus Nahru yang kini jadi menantunya.
Beliau merupakan santri kesayangan Alm. KH. Mufid Mas’ud Sunan Pandan Arang Yogyakarta dan Alm. KH. Arwani Amin Kudus Jawa Tengah. Tidak jarang keluarga dari kedua kyai karismatik tersebut, nyantri dan tabarrukan kepada beliau, seperti KH. Mu’tashim Billah Mufid, KH. Ulin Nuha Arwani, KH. Hisyam dll. Konon, beliau merupakan putra daerah Malang yang pertama kali hafal al-Quran dengan Qiraah Sab’ah (tujuh bacaan al-Quran yang mutawatir). Di daerah Malang dan sekitarnya, beliaulah yang menjadi rujukan berbagai persoalan yang terkait dengan ulumul Quran terutama aspek ilmu Qiraat. Santri beliau bertebaran di hampir seluruh penjuru tanah air. Tidak jarang santri beliau yang kini menjadi rujukan keilmuan, misalnya Gus Hilmi (Imam besar Masjid Ampel Surabaya), Dr. Nurul Murtadlo (Pembantu Dekan I Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang), M. Syamsul Ulum (dosen UIN Malang), Gus Silahul Hawa (pengasuh pesantren Raudlatul Quran Singosari), Gus Nahrul Ulum (pengasuh pesantren Syafa’atul Quran Langlang Singosari) dan masih banyak lagi lainnya.
Dalam kesehariannya, beliau melakukan tashih hafalan dan bacaan untuk semua santri seusai Shubuh hingga jam 9 pagi. Kemudian beliau menerima tamu-tamu dalam berbagai keperluan yang kadang hingga siang. Bahkan dulu, selepas ta’lim, beliau masih menyempatkan diri untuk menjalankan bisnisnya, diantaranya jual beli mobil dan tanah, serta home industry berupa makanan dan minuman ringan. Malam hari selepas Isya’ beliau mengajar Tafsir Jalalain untuk santri-santri senior.
Beliau tak henti-hentinya mewanti-wanti para santri agar berlatih untuk berwiraswasta sejak dini, khawatir mereka kelak menjadikan al-Quran sebagai sumber ma’isyah (perekonomian), padahal itu akan mengganggu keikhlasan para santri dalam memperjuangkan penyebaran al-Quran di tengah-tengah masyarakat. Para santri biasanya seusai setoran hafalan sekitar jam 9 pagi, mereka oleh KH. Mustain diberikan tugas yang tidak terkait langsung dengan al-Quran seperti menyablon plastik, membuat es lilin, menggoreng kerupuk, membangun kamar santri dan madrasah diniyah, mencari donatur, menjual kerupuk ke daerah Malang dan sekitarnya, memasak untuk makan siang santri. Beliau juga melatih santri untuk tidak gila sanjungan, maklum orang yang hafal al-Quran itu sangat potensial disanjung dan dimuliakan orang. Santri tidak diharuskan memakai kopyah bila sewaktu-waktu keluar dari pesantren, seperti sekolah, kuliah, kerja dll. Bahkan, ketika malam Jum’at tiba, selepas mengikuti pembacaan Diba’ dan Shalat Isya’ mereka diberikan kebebasan untuk bermain dimana saja, asalkan pagi hari sudah kembali untuk bekerja bakti (ro’an)  bersama.
Meskipun dikenal kyai senior dan kharismatik, beliau tidak pernah merasa “gengsi” dalam menuntut ilmu. Setiap malam Selasa, beliau mengikuti pengajian rutin tafsir Ayatil ahkam “Rawa’iul Bayan” di kediaman KH. Tolchan Hasan di dekat Masjid Jami’ Singosari. Juga sering mengaji kitab “Ihya’ Ulumid Din ke KH. Abdur Rohman Kepanjen. Beliau juga pernah belajar bahasa Arab ke KH. Bashori Alwi, pengasuh pesantren Ilmu al-Quran (PIQ) Singosari. Keta’dhiman beliau pada guru-gurunya juga sangat tinggi, tidak semata saat belajar saja, melainkan selamanya baik semasa hidup maupun setelah meninggal. Dulu, hampir setiap tahun beliau berkunjung ke gurunya KH. Mufid Mas’ud di Jogjakarta. Setiap tahun pula beliau mengundang guru-gurunya (KH. Bashori Alwi, KH. Mufid Mas’ud, KH. Tolchah Hasan), bahkan mereka dijadikan sebagai pembicara tetap dalam setiap acara Rojabiyah dan Wisuda al-Quran, sejak puluhan tahun yang lalu. Sepeninggal guru tercintanya, KH. Mufid Mas’ud, beliau masih ta’dhim kepada putra dan putri dari sang guru. Acara Rajabiyah yang dulu selalu diisi oleh sang guru, kini dilanjutkan oleh puteranya KH. Mu’tashim Billah. Saya yakin bukan karena gaya orasinya yang bagus atau keilmuannya yang mendalam, namun karena keta’dhiman beliau pada gurunya yang tak pernah pudar.
Beliau dalam mendidik santri-santrinya menggunakan pendekatan realistik dan rasional. Banyak wali santri yang memintakan “amalan” khusus untuk putra-putrinya agar mudah menghafal al-Quran. Namun, selalu jawaban beliau hanya satu, yaitu istiqamah menghafal dan melakukan shalat jama’ah. Beliau juga kurang berkenan apabila ada santrinya yang mengamalkan puasa sunnah. Bukan apa-apa, beliau hanya ingin santrinya dalam menghafal al-Quran itu kondisinya fit, segar bugar, sehat, sehingga penambahan hafalan baru dan muraja’ahnya lebih banyak dan hasilnya lebih baik.
Mengikuti jejak gurunya, KH. Arwani Amin, beliau tidak memperkenankan santrinya mengikuti kompetisi dan lomba (musabaqah) apapun yang terkait dengan al-Quran. Beliau menginginkan para santrinya semata fokus dalam menghafal dan belajar, serta menggunakan cara-cara yang wajar tanpa banyak berulah. Beliau sangat disiplin dan keras kepada santrinya dalam urusan belajar. Kesalahan kecilpun kalau terkait dengan bacaan al-Quran, akan membuat beliau “marah”. Ada satu kamar di dekat ruangan tamu di “ndalem” beliau yang memang disediakan untuk “memenjarakan” santri-santri yang kurang disiplin dalam menghafal. Lebih-lebih santri senior yang sedang belajar Qiraah Sab’ah, mereka tidak boleh maju setoran kalau tanpa persiapan. Sering terjadi, beliau menyuruh mundur santri yang kurang persiapan tanpa komentar apapun.
Beliau juga sosok kyai yang memiliki hubungan spiritual dengan para wali (auliya’) yang telah wafat. Beliau secara periodik berkunjung ke makam Sayyid Sulaiman di Mojogeneng Mojokerto, kadang sampai berhari-hari, serta para auliya’ yang lain. Kekuatan spiritualnya terpancar pada kemustajaban doa dan prediksi-prediksinya yang jitu, sehingga banyak alumni dan masyarakat sekitar dusun Sanan Desa Watu Gede Singosari meminta doa serta obat pada beliau. Beliau sangat memperhatikan pendidikan formal dan informal para santri dan keluarganya. Pesan beliau: “setelah kalian hafal al-Quran, kuasailah ilmu-ilmu bahasa Arab agar mengetahui kandungan maknanya, lalu lanjutkan studimu sampai ke perguruan tinggi, kalau ada biaya. Terbukti menantunya rata-rata lulusan sarjana bahkan doktor, termasuk para santrinya. Beliau juga dekat dengan masyarakat sekitar pesantren khususnya dan masyarakat Singosari khususnya. Seringkali rombongan ibu-ibu dan bapak-bapak pergi pesantren itu semata belajar mengaji alif ba’ ta’ dan beliau sabar menerima dan mengajar mereka. Kedekatan itu tercermin tiap tahun pada acara Haflah Rajabiyah yang dihadiri ribuan masyarakat  Singosari dan sekitarnya. Ribuan orang datang bukan tertarik pada acara atau penceramah yang tersaji, melainkan semata “hormat dan ta’dhim” mereka atas undangan KH. Musta’in.
Kini, beliau telah memiliki banyak generasi penerus dari anak kandung dan menantu. Ust. Firdaus dan Ust. Nafis telah banyak membantu beliau mengajar. Juga ust. Nahrul Ulum dan Ust. Nurul Murtadlo, berikut para santri senior yang masih berkhidmat membesarkan “Darul Quran, juga memberikan “support” besar terhadap berdiri dan berkembangnya SMP dan SMA “Darul Quran”. Menginjak usia senja, berbagai penyakit mulai menguji beliau, dari diabetes hingga rabun mata akut. Namun, satu tahun belakangan ini beliau sudah mampu melihat kembali seperti sediakala.
Ungkapan di atas mungkin belum seberapa dari keindahan jati diri beliau yang sesungguhnya, mungkin alumni santri “Darul Quran” merasakan hal yang lebih dalam lagi dari pengalaman sprititual selama menuntut ilmu di sana. Apa yang saya curahkan tersebut merupakan refleksi dari peristiwa 17 tahun yang lalu dalam kurun waktu dua tahun (1993-1995). Hari ini, saya yakin telah terjadi perkembangan fisik bangunan dan non fisik di PPDQ (Pondok Pesantren Darul Quran), semoga pesantren ini abadi sepanjang masa, dan tetap konsisten mencetak pribadi qurani yang tidak silau akan gemerlapnya dunia, justru menerangi lingkungan sekitar dengan cahaya qurani.
Guruku dan kyaiku tercinta, doaku selalu terpanjat kehadirat-Nya semoga engkau senantiasa diberikan umur yang panjang, tubuh yang sehat, ilmu yang barokah agar pengabdianmu yang tak kenal lelah itu terus menjadi mata air yang memberikan oase kesejukan pada para santri, alumni dan warga sekitar. Semoga Allah mewariskan keteladanan dan perjuangan beliau kepada para santri-santrinya demi tetap menyalanya obor dakwah al-Quran di Malang dan sekitarnya. Amin.
Terima kasih guruku, atas bimbingan yang menjadikan aku faham bagaimana menjadi orang yang tawaddu’ dalam sikap, mandiri dalam hidup, tinggi dalam ilmu, dan peduli dengan sesama. Ilmu bisa dicari di mana saja, tetapi ketauladanan hanya terpancar dari relung hati yang bersih dan ikhlas.
(Curahan hati seorang alumni era 1993-1995). Malang, 13 Juni 2011.